Thariq.sch.id– Pada artikel sebelumnya telah kita ketahui bahwa berkah ilmu bukan hanya semata pada ilmunya, melainkan bagaimana adab penuntut ilmu bahkan orangtua terhadap guru anak-anaknya. Pada kisah terdahulu zaman nabi dan sahabat kita ketahui bahwa seorang pejabat negara sangat menghormati syeikh (guru) dari anak-anaknya.
وَاتَّقُوا اللّٰهَۗ وَيُعَلِّمُكُمُ اللّٰهُۗ وَاللّٰهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمٌ
“…tingkatkan ketakwaanmu kepada Allah, maka Allah akan menambah pengetahuan dan pemahaman kepadamu, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al Baqarah : 282).
Ayat ini memerintahkan kita untuk mendahulukan takwa dari ilmu. Karena ketakwaan kepada Allah, akan menjadi sebab luasnya pengetahuan dan dalamnya keilmuan seseorang. Diantara sifat orang bertakwa antara lain adalah adab.
Mengapa adab harus didahului daripada ilmu?
Adab adalah sikap moral yang membimbing seseorang untuk berprilaku baik. Jika orang berilmu tapi adabnya belum baik, maka saat ia berperilaku buruk dampaknya akan lebih besar dibanding orang yang tidak berilmu.
Salah satu adab yang paling utama dari seorang penuntut ilmu, adalah menjaga adabnya pada guru.
Guru menjadi sebab berkahnya ilmu. Dari adab kepada guru, janji Allah untuk meluaskan ilmu dan pemahaman akan terwujudkan.
Dikisahkan di kota Tarim (Yaman), ada seorang santri yang sedang belajar di Rubat Tarim. Beliau dididik langsung oleh Habib Abdullah Umar Assyatiri selama 13 tahun. Ia sangat cerdas, kuat hafalannya, tangkas dan rajin bahkan menjadi santri yang sudah mencapai derajat Mufti karena pintarnya. Ia hafal semua masalah Fiqhiyah yang terdapat dalam Kitab “Tuhtatul Muhtaj” sebuah kitab yang tebalnya 10 jilid cetakan Darul Diyha.
Tak ada orang yang tak mengenalnya pada saat itu. Bahkan banyak orang memprediksi ia akan menjadi calon ulama besar dan ilmuwan termasyhur yang akan melampaui gurunya. Tetapi kecerdasannya membuatnya lupa diri, ia merasa dirinya yang paling alim. Bahkan yakin kualitas dirinya sejajar dengan kealiman guru besarnya. Tidak cukup sampai di situ, kesombongan berlanjut hingga ia berani memanggil gurunya dengan namanya saja, “Ya Abdullah (duhai Abdullah)”.
Di mata para Ahli ilmu, tindakan seperti ini sangat tercela dan kesombongan yang nyata. Melihat kesombongan muridnya Habib Abdullah As-Syatiri sabar dan memilih diam saja. Syeikh Muhammad bin Ali Ba’atiyah mengatakan : “Diamnya seorang guru saat muridnya tidak sopan pada gurunya, tetap akan mendapatkan Adzab dari Allah.”
Sampai suatu hari, saat Habib Abdullah mengisi pengajian rutin, ia tidak mendapati sang murid di tengah-tengah santri lainnya. Ketika sang Habib bertanya kemanakah santri yang sangat terkenal cerdas itu? Santri lainnya bingung dan tidak ada yang tahu. Ternyata santri yang dimaksud pergi keluar berniat mengisi pengajian di kota Mukalla tanpa izin.
Akhirnya Habib Abdullah As Syatiri berkata, “Baiklah orangnya boleh keluar tanpa izin, tapi ilmunya tetap di sini!”. Di kota Mukalla, masyarakat yang mengetahui kedatangan sang santri cerdas, hadir berbondong-bondong. Mereka ingin belajar dan melihat langsung santri dari Habib Abdullah As Syatiri yang mahsyur. Singkat cerita si santri ini pun maju kedepan dan mulai membuka ceramahnya dengan salam dan muqaddimah pendek. Tetapi sejurus kemudian si santri yang cerdas ini tak mampu berkata-kata sama sekali. Bibirnya kelu, bahkan kitab paling kecil sekelas Safinah pun tak mampu ia ingat sedikit pun.
Sontak dia tertunduk dan menangis. Para hadirin pun heran, “Ada apa ini?” akhirnya salah satu ulama kota Mukalla pun menghampirinya dan bertanya; “Mengapa bisa begini? Apa yang saudara lakukan sebelumnya?”
Dia menjawab, “aku keluar tanpa izin dari guruku.” Beberapa orang menyarankan agar ia meminta maaf kepada Habib gurunya. Tetapi karena malu dan rasa sombongnya, ia enggan mengaku salah pada gurunya dan tidak mau meminta maaf.
Kesombongannya membuat semua orang menjauhinya, dan tidak ada satupun yang peduli padanya. Hidupnya terlunta-lunta, miskin. Ia hanya bertahan hidup dengan menjual ikan kering. Sampai saat ia meninggal, ia mati dalam keadaan sangat miskin sampai kain kafannya pun tak mampu dibeli dan akhirnya diberi oleh seseorang.
Ketiadaan adab menjadikan dirinya sengsara di dunia dan akhirat.
Imam Nawawi berkata :
“Seyogyanya bagi seorang pelajar tawadlu’ (rendah hati) kepada gurunya dan menjaga tata krama ketika bersamanya, meskipun gurunya tersebut lebih muda, tidak begitu terkenal, nasabnya lebih rendah dan (mungkin) keshalehannya kalah dengan muridnya. Dengan tawadhu’ (rendah hati), niscaya ilmu akan ia dapatkan”.
Lalu bagaimana bila guru kita memiliki kekurangan?
Seorang guru juga manusia biasa yang tidak lepas dari aib, dosa, kesalahan, dan bahkan maksiat kepada Allah. Maka ketika kita mengetahui aib guru kita, tetaplah jaga rasa ta’zhim kita tanpa berkurang sedikit pun, agar berkahnya ilmu bisa didapat.
Imam Nawawi memberi kiat dengan mengajarkan doa berikut:
اَللّٰهُمَّ اسْتُرْ عَنِّيْ عَيْبَ مُعَلِّمِيْ حَتّٰي لَا تَقَعَ عَيْنِيْ لَهٗ عَلَي نَقِيْصَةٍ وَلَا يُبَلِّغَنِي ذٰلِكَ عَنْهُ عَنْ اَحَدٍ ، رَضِيَ اللّٰهُ عَنْهُ
“Ya Allah, tutuplah aib (kekurangan) guruku dariku, sehingga aku tak pernah melihat kekurangan pada guruku, dan tidak ada seorang pun yang pernah menyampaikan kekurangan guruku kepadaku. Semoga Allah meridhoi beliau (guruku)”.
Baca juga : 5S SEBAGAI CERMINAN AKHLAK PELAJAR MUSLIM
Semoga Allah memberkahi semua guru-guru kita, dan memberkahi ilmu dan kehidupan kita. Aamiin.
Ditulis oleh : Ustzh S.M Candra Christina, S.Pd (Guru SMPIT TBZ)