Bekasi(7/08/2023)- Sudah menjadi sunnatullah bahwa jika ada sekelompok makhluk hidup terutama manusia yang hidup bersama-sama dalam satu tujuan, maka salah satunya diwajibkan dalam syariat Islam untuk menjadi pemimpin. Kepemimpinan ini mulai dari tingkatan yang paling sederhana yaitu Kepala Keluarga, Ketua Kelas, Ketua Kelompok dan lain sebagainya. Sampai kepada kepemimpinan yang lebih luas dan melibatkan banyak orang seperti, Ketua RT, Ketua RW, Lurah, Camat, Walikota, Bupati, Gubernur, dan Presiden.

Tantangan yang dihadapi oleh setiap pemimpin juga berbeda-beda. Semakin tinggi posisi kepemimpinan dan berpengaruh kepada masyarakat luas maka semakin tinggi pula tantangan yang akan dihadapi. Bagi seseorang yang menjadi Kepala Negara tentu memiliki kekuasaan yang luas seperti anggaran keuangan, kekuatan militer, pengaruh politik, serta banyak kekuasaan lainnya yang dimiliki.
Dengan kekuasaan yang luas tersebut tentu jika tidak berhati-hati seorang pemimpin dapat membuat rakyat yang dipimpin akan merasakan kesengsaraan, tersakiti, haknya diambil, dan lain sebagianya. Olehkarenanya, rakyat/orang yang dipimpin seringkali menggunakan suara yang tegas dan keras karena mereka tidak memiliki kekuasaan apa-apa untuk membela haknya kecuali dengan kritikan dan suara lantang.
Dengan dasar inilah, banyak sahabat Nabi SAW terdahulu mereka cenderung takut dan khawatir untuk menerima amanah sebagai pemimpin karena mereka paham betul jika urusan di dunia tidak selesai maka akan menghalangi urusan mereka di hari akhir. Namun ketika mereka sudah diamanahkan, maka tidak ada kata mundur dan mereka lakukan tugas kepemimpin dengan sebaik-baiknya sehingga rakyat yang dipimpin merasakan keadilan dan kesejahteraan.
Zaman sekarang ini banyak pemimpin yang anti dikritik apalagi dengan kalimat yang keras. Mereka lebih senang disanjung dan dipuja rakyatnya. Jelas sikap ini sangat jauh dari yang dicontohkan oleh Nabi SAW dan para Sahabat. Kita bisa lihat bagaimana sikap seorang Umar Bin Khattab ketika dikritik keras oleh perempuan yang menolak kebijakan beliau tentang mahar laki-laki yang akan menikahi wanita hendaknya tidak lebih dari 400 dirham. Tapi Umar pada saat itu tidak marah dengan kritik dari wanita tersebut dan malah menerimanya. Bahkan Umar r.a berkata ” Tiap orang lebih paham ketimbang umar”. Pada kesempatan lain, Umar r.a juga pernah diacungkan pedang oleh Arab Badui dan dia berkata” Apabila Engkau, wahai khalifah, benar, maka aku akan menaatimu. Tetapi jika engkau menyimpang, pedang ini akan meluruskanmu”. Ketika Umar RA mendengar kalimat ini beliau mengucapkan Alhamdulillah dan bersyukur karena ada yang berani mengingatkan beliau jika menyimpang dari kententuan Allah SWT dan Rasul-Nya.
Baca juga : Hikmah Jum’at : Biasa-Biasa Sajalah
Kejadian ini jarang kita jumpai saat ini. Ketika dikritik, para pemimpin tidak mau menerimanya dan bahkan cenderung memobilisasi pendukungnya untuk mempersekusi yang mengkritik Bahkan tidak jarang yang mengkritik harus berada di jeruji besi. Contoh lainnya yaitu sahabat Ali Bin Abi Thalib RA, ketika beliau menggugat baju besi miliknya yang diambil seorang nasrani ia tidak mengambilnya begitu saja melainkan membawa masalah ini ke pengadilan. Bahkan di pengadilan Ali Bin Abi Thalib sebagai khalifah kalah karena tidak punya bukti kuat bahwa baju perang itu miliknya. Tentu zaman sekarang sangat jarang pemimpin yang mau hadir di pengadilan ketika rakyat menggugatnya. Bahkan seringkali gugatan tersebut dibatalkan/tidak diterima oleh penegak hukum karena menyangkut orang yang berkuasa.
Hadist Nabi SAW :
“Tidaklah seseorang diamanahi memimpin suatu kaum kemudian ia meninggal dalam keadaan curang terhadap rakyatnya, maka diharamkan baginya surga” (HR. Bukhari Muslim)
Mudah-mudahan beberapa contoh dan teladan tentang sikap adil, rendah hati, dan mau menerima kritik dari sahabat Nabi SAW dapat menambah pengetahuan dan memberikan hikmah bagi sahabat thariq semua terutama yang saat ini sedang menjalankan amanah menjadi seorang pemimpin. (fr)
Simak video :Kisah Luar Biasa Umar Bin Khattab (Dr. Khalid Basalamah)